Aku adalah kesepian dalam keramaian
Di sebuah kota yang tak pernah tidur, di tengah sorotan lampu jalan dan deru suara mesin kendaraan, aku melangkah kan kaki. Trotoar dipenuhi orang-orang yang tertawa dengan cerita lucu mereka, teman-teman yang saling bercanda, bahkan anak-anak yang berlari riang sambil mengejar balon warna-warni. Tapi langkahku sepi. Dan dadaku sesak hampa.
Namaku Alone, tapi aku merasa seperti bayangan. Aku hadir, tapi tak pernah benar-benar terlihat. Di kantor, aku duduk di tengah deretan meja kerja yang ramai namun tak ada yang benar-benar berbicara denganku. Mereka menyapa, dan berlalu sekutil senyuman yang mereka lemparkan. Tawa mereka sering terdengar seperti gema yang tak menyentuh.
Setiap malam, aku berjalan melewati kafe-kafe kecil, di mana lampu temaram dan musik akustik menciptakan kehangatan yang hanya bisa kulihat dari balik jendela. Bukan karena aku tak mampu, tapi karena aku tak tahu siapa yang akan kusapa. Tak ada tempat untukku di meja mana pun.
Aku pernah bertanya pada diriku : apakah kesepian itu pilihan? Tapi makin aku mencari jawabnya, makin aku merasa bahwa kesepian bukan sesuatu yang kupilih. Ia seperti kabut yang datang pelan-pelan, menyelimuti, menyusup ke dalam celah-celah hidup, hingga tanpa sadar aku berdiri di tengah keramaian, tetapi tak satu pun mengenalku.
Namun suatu malam, di halte bus yang sepi, seorang gadis duduk di sampingku. Wajahnya lelah, matanya sembab. Kami tak saling bicara, hanya duduk berdampingan dalam diam. Tapi dalam diam itu, aku merasa... mungkin dia juga kesepian.
Dia menoleh, tersenyum tipis, lalu berkata lirih, “Kau juga merasa seperti tak benar-benar ada, ya?”
Aku mengangguk, dan untuk pertama kalinya, aku merasa dilihat.
Mungkin, aku bukan satu-satunya kesepian di tengah keramaian. Dan mungkin, dalam pertemuan yang sunyi itu, ada awal bagi dua kesepian untuk menemukan arti bersama.